Sebagai umat islam, hal yang pertama kali wajib dimiliki adalah keimanan kepada Allah swt sebagai Tuhan semesta alam dan Rasulullah saw
sebagai utusan terakhir dan tidak ada lagi utusan setelahnya. Akan tetapi
kewajiban tersebut tidak hanya berhenti di situ, melainkan keyakinan terhadap
kemurnian iman tersebut yang dihadirkan dalam kemasan syariat. Lalu apakah keimanan
itu hanya perintah syariat tanpa ada peran akal untuk menggapainya?
Dari sini kita akan berkenalan dengan pendapat salah
satu Kelompok Islam yang memiliki banyak pengaruh dalam literasi intelektual Islam
yakni Muktazilah. Sebagai contoh pendapat paling fundamental mereka mengenai
kewajiban mengetahui Allah, apakah kewajiban tersebut bersumber pada akal atau bersumber
dari wahyu. Dalam hal tersebut Muktazilah berkeyakinan bahwa kewajiban untuk
mengetahui Allah datang dari akal atau wajib ‘aqli. Yang berarti bahwa manusia
mengetahui Allah swt melalui akalnya secara langsung tanpa adanya pemberitahuan
syariat. Pendapat tersebut dinyatakan secara tersurat oleh Al Qadhi
Abdul Jabbar dalam Syarh al Ushul al Khomsah:
<ومعرفة الله تعالى لا تنال إلا بالنظر في
حجة العقل>
“Dan mengenal Allah tidak
didapatkan kecuali dengan pengamatan dalam otoritas akal”.
Problemnya, mereka meninggalkan
peran wahyu dalam permasalahan ini. Konsekuensi dari pendapat tersebut adalah manusia
tidak memerlukan wahyu untuk mengenal tuhan. Sehingga sangat mungkin manusia menghukumi
segala sesuatu hanya bermodalkan akal saja seperti pengukuran baik dan buruk.
Padahal kita merasakan bahwa setiap manusia bahkan lingkungan memiliki
subjektifitas yang berbeda-beda. Jika tanpa wahyu sebagai perantara untuk
menemukan kebenaran, itu mustahil. Lalu bagaimana dengan munculnya paham
ateisme? Bukankah mereka juga menggunakan akal mereka untuk meniadakan Tuhan?. Argumentasi tersebut dikuatkan oleh Al Baijuri
di Syarh Jauharah al Tauhid bahwa menurut mereka segala hukum permasalahan ditetapkan
oleh akal yang juga mengarah kepada baik dan buruk, pahala dan dosa diukur
berdasarkan akal dan bersifat aksiomatik.
Di sisi lain, ulama Asyairah yang
merupakan lawan dialektika paling vocal dari muktazilah, menawarkan racikan
pendapat yang berbeda. Mereka menjadikan akal dan syariat berjalan beriringan,
dalam artian kedua hal ini tidak mungkin ada tanpa keterkaitan satu sama lain. Asyairah
menyatakan bahwa semua hukum permasalahan – termasuk pengamatan (nazhor) untuk mengetahui Allah -
ditetapkan oleh wahyu dalam bentuk syariat dengan akal sebagai wadah untuk menerima
dan mengolahnya (Al Baijuri/ Tuhfatul Murid Syarh Jauharah al Tauhid).
Pendapat Asyairah di atas dikuatkan
dengan kritikan Al Hamidi kepada mereka dalam Hasyiyah ‘ala Syarh al Kubro
li al Sanusi bahwa pendapat mereka beresiko besar yakni keraguan terhadap
kenabian, sebagai contoh, apabila Rasulullah saw mengatakan: Taatilah aku dan
ikuti aku maka mukallaf akan mengatakan aku tidak melakukannya kecuali
aku mempercayaimu, dan aku tidak mengetahui kejujuranmu kecuali dengan pemgamatan,
karena kejujuranmu memerlukan pembuktian dan perenungan akal.
Dari pembahasan diatas saja dapat
disimpulkan bahwa kita perlu menundukkan akal kepada wahyu dan bukan berarti
melupakannya. Akal tetaplah berperan penting dalam keimanan, karena dengan akal,
manusia menerima dan mengolah perbedaan kebaikan dan keburukan serta ketaatan
dan kemaksiatan menurut syariat. Apakah mungkin seorang yang hilang akalnya
dapat mengetahui kewajiban sholat?. Maka dari itu, akal tidaklah berdiri
sendiri, karena akal sangat terbatas untuk menggapai hal-hal yang diturunkan
wahyu seperti dalam permasalahan marifat (mengetahui) Allah. Tanpa adanya
Rasul, manusia akan sulit menggapai kebenaran wahyu yang bermuara pada Dzat
Allah, dan tanpa adanya para ulama, manusia tidak akan mengenal Rasul. Selain
itu, apabila akal dijadikan hal yang suprematif maka sangat berpotensi
menyalahi kaidah-kaidah agama dan berujung kepada ketidakpercayaan akan Tuhan,
karena tujuan keimanan adalah mengetahui al Ma’lum min ad Diin Bi al Dhoruroh dalam konteks akidah (permasalahan
dalam agama yang tidak memerlukan ijtihad).
0 Comments
Posting Komentar