(Foto Syekh Shalih al Ja'fari dan Syekh Abdul Halim Mahmud rahimahumallah)


《قراءتك عشر مرات بكتاب واحد أفضل من قراءتك مرة واحدة بعشر كتب》
"Bacaanmu 10 kali dengan satu buku lebih baik daripada bacaanmu satu kali dengan 10 buku"
(Abbas Aqqad - Sastrawan Mesir) 


Sebagai umat islam, hal yang pertama kali wajib dimiliki adalah keimanan kepada Allah swt  sebagai Tuhan semesta alam dan Rasulullah saw sebagai utusan terakhir dan tidak ada lagi utusan setelahnya. Akan tetapi kewajiban tersebut tidak hanya berhenti di situ, melainkan keyakinan terhadap kemurnian iman tersebut yang dihadirkan dalam kemasan syariat. Lalu apakah keimanan itu hanya perintah syariat tanpa ada peran akal untuk menggapainya?

Dari sini kita akan berkenalan dengan pendapat salah satu Kelompok Islam yang memiliki banyak pengaruh dalam literasi intelektual Islam yakni Muktazilah. Sebagai contoh pendapat paling fundamental mereka mengenai kewajiban mengetahui Allah, apakah kewajiban tersebut bersumber pada akal atau bersumber dari wahyu. Dalam hal tersebut Muktazilah berkeyakinan bahwa kewajiban untuk mengetahui Allah datang dari akal atau wajib ‘aqli. Yang berarti bahwa manusia mengetahui Allah swt melalui akalnya secara langsung tanpa adanya pemberitahuan syariat. Pendapat tersebut dinyatakan secara tersurat oleh Al Qadhi Abdul Jabbar dalam Syarh al Ushul al Khomsah:

<ومعرفة الله تعالى لا تنال إلا بالنظر في حجة العقل>

“Dan mengenal Allah tidak didapatkan kecuali dengan pengamatan dalam otoritas akal”.

Problemnya, mereka meninggalkan peran wahyu dalam permasalahan ini. Konsekuensi dari pendapat tersebut adalah manusia tidak memerlukan wahyu untuk mengenal tuhan. Sehingga sangat mungkin manusia menghukumi segala sesuatu hanya bermodalkan akal saja seperti pengukuran baik dan buruk. Padahal kita merasakan bahwa setiap manusia bahkan lingkungan memiliki subjektifitas yang berbeda-beda. Jika tanpa wahyu sebagai perantara untuk menemukan kebenaran, itu mustahil. Lalu bagaimana dengan munculnya paham ateisme? Bukankah mereka juga menggunakan akal mereka untuk meniadakan Tuhan?.  Argumentasi tersebut dikuatkan oleh Al Baijuri di Syarh Jauharah al Tauhid bahwa menurut mereka segala hukum permasalahan ditetapkan oleh akal yang juga mengarah kepada baik dan buruk, pahala dan dosa diukur berdasarkan akal dan bersifat aksiomatik.

Di sisi lain, ulama Asyairah yang merupakan lawan dialektika paling vocal dari muktazilah, menawarkan racikan pendapat yang berbeda. Mereka menjadikan akal dan syariat berjalan beriringan, dalam artian kedua hal ini tidak mungkin ada tanpa keterkaitan satu sama lain. Asyairah menyatakan bahwa semua hukum permasalahan – termasuk pengamatan  (nazhor) untuk mengetahui Allah - ditetapkan oleh wahyu dalam bentuk syariat dengan akal sebagai wadah untuk menerima dan mengolahnya (Al Baijuri/ Tuhfatul Murid Syarh Jauharah al Tauhid).

Pendapat Asyairah di atas dikuatkan dengan kritikan Al Hamidi kepada mereka dalam Hasyiyah ‘ala Syarh al Kubro li al Sanusi bahwa pendapat mereka beresiko besar yakni keraguan terhadap kenabian, sebagai contoh, apabila Rasulullah saw mengatakan: Taatilah aku dan ikuti aku maka mukallaf akan mengatakan aku tidak melakukannya kecuali aku mempercayaimu, dan aku tidak mengetahui kejujuranmu kecuali dengan pemgamatan, karena kejujuranmu memerlukan pembuktian dan perenungan akal.

Dari pembahasan diatas saja dapat disimpulkan bahwa kita perlu menundukkan akal kepada wahyu dan bukan berarti melupakannya. Akal tetaplah berperan penting dalam keimanan, karena dengan akal, manusia menerima dan mengolah perbedaan kebaikan dan keburukan serta ketaatan dan kemaksiatan menurut syariat. Apakah mungkin seorang yang hilang akalnya dapat mengetahui kewajiban sholat?. Maka dari itu, akal tidaklah berdiri sendiri, karena akal sangat terbatas untuk menggapai hal-hal yang diturunkan wahyu seperti dalam permasalahan marifat (mengetahui) Allah. Tanpa adanya Rasul, manusia akan sulit menggapai kebenaran wahyu yang bermuara pada Dzat Allah, dan tanpa adanya para ulama, manusia tidak akan mengenal Rasul. Selain itu, apabila akal dijadikan hal yang suprematif maka sangat berpotensi menyalahi kaidah-kaidah agama dan berujung kepada ketidakpercayaan akan Tuhan, karena tujuan keimanan adalah mengetahui al Ma’lum min ad Diin Bi al Dhoruroh dalam konteks akidah (permasalahan dalam agama yang tidak memerlukan ijtihad).